KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM -Oleh : Dr. H. Surahman Hidayat, MA- (Dosen tetap STEI Indonesia dan Dosen Luar Biasa STEI Tazkia)
Menyebut sebuah nama “Ekonomi Islam” menyiratkan dan memberi kesan banyak makna. Suatu pandangan yang sempit dan terlalu khawatir membayangkan bahwa dalam Ekonomi Islam tidak tersedia ruang sama sekali bagi ekonomi konvensioal dan tidak diperbolehkan masuk kedalam lingkungannya kecuali ahli syari’ah. Pandangan yang terlalu kompromistis menggambarkannya sebagai ekonomi hasil racikan atau perkawinan antara madzhab kapitalis dan sosialis, laiknya sosialisme demokrat di bidang politik.
Kedua pandangan tersebut tidak memberi manfaat untuk Ekonomi Islam. Jika pandangan pertama menghilangkan hal yang paling berharga dalam Islam yaitu “fithrah” yang menyinarkan segala bentuk kebaikan yang bermanfaat bagi manusia, dimana dan kapan saja. Maka pandangan kedua membuang dari Islam hal yang menjadi khasnya, yaitu “shibghah” atau celupan Ilahiah yang membedakannya dari celupan-celupan lain. Lebih dari itu mengingkari nasab yang sah bagi Ekonomi Islam dan menukarnya dengan posisi “anak” dari perkawinan liar antara kedua aliran ekonomi yang tidak pernah mengumumkan pertunangan apalagi perkawinan.
Pandangan yang wajar terhadap Ekonomi Islam adalah yang mencerminkan fitrhrah dan shibghahnya sekaligus. Dengan fitrah keislamannya ia selalu menawarkan yang baik, lebih baik dan terbaik bagi manusia. Sedang dengan shibghah Islamiahnya ia menunjukkan jati dirinya pada setiap penampilan. Itu direfleksikan dalam sejumlah karakteristik yang dimilikinya, yang secara keseluruhan memberinya keistimewaan dari ekonomi konvensional, tetapi menyediakan ruang untuk mengakomodasikan prestasi-prestasi insaniah dari khazanah pengalaman ekonomi yang ada.
Baca juga :Etos Kerja Dalam Pandangan Islam.
Bagi paham ekonomi naturalistis sumber daya alam adalah faktor paling penting, bagi aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi Islam sumber daya manusia atau “humane capital” sebagai kuncinya. Nilai manusia tidak bisa diukur dengan harta benda atau uang. Al Quran memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada ( 14: 32-34).
Posisi manusia yang sedemian itu memungkinkannya untuk menerima amanah “khilafah” dari Allah SWT. Yaitu amanah untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi dengan mengolah sumber daya yang Dia sediakan (11: 61). Dan untuk menciptakan kehidupan sosial yang teratur serta maju dengan mengaplikasikan aturan Maha Pencipta dalam pelbagai aspek kehidupan (42:13). Kemudian dengan dukungan kesejahteraan ekonomi dan kemajuan sosialnya, mereka mensosialisasikan pedoman hidup yang dimanahkan itu kepada komunitas manusia yang lain sehingga menjadi pedoman yang berlaku secara mendunia (3:110; 8:39,40).
Karakter ini merupakan derivasi dari karakter ummat Islam sebagai “Ummatan Wasathan” (2:143), yang mengemban tugas sebagai “syuhada” yakni rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat manusia (A. Yusuf Ali:58). Dalam pencermatan beberapa kitab tafsir posisi “wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi makna. Yang pertama maknanya “tawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna “tawazun” yakni seimbang (balance). Ketiga bermakna “khairan” yakni terbaik dan alternatif. Itu artinya, dalam Islam dan ekonomi Islam tidak ada tempat untuk ekstrimitas. Baik ekstrimitas kapitalis dalam pemihakannya kepada orang kaya pemiik modal, maupun ekstrimitas sosialis dalam memusuhi para kapitalis atas nama “pemihakannya” kepada kaum buruh. Ekonomi Islam memuji kalangan “aghniya” yang mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli utuk memberdayakan “fuqara”. Kebijakan politik ekonomi Islam tak pernah segan untuk menindak aghniya yang tidak menunaikan hak-hak sosial dari hartanya, dan “menjewer” fuqara yang meminta belas kasihan karena malas. Dalam posisi “middle” Ekonomi Islampun mempunyai keunggulan komparatif dengan ekonomi konvensional yang paling leading sekalipun. Itu menempatkannya sebagai ekonomi alternatif atau “khairan”. Betapa tidak, ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikannya sendiri, dan kebaikan ekonomi lainnya diakomodir tanpa keraguan. Diagram Venn dari ilmu logika membantu menjelaskan posisi alternatif ekonomi Islam, seperti di bawah ini:
Keterangan
K = Kapitalisme
Lingkar ekonominya mengandung elemen yang positif (diberi warna putih) dan elemen yang negatif (diberi warna hitam).
S = Sosialisme
Lingkar ekonominya mengandung elemen yang positif (diberi warna putih) dan elemen yang negatif (diberi warna hitam).
I = Islam
Memiliki elemen positif khas Islam dan mengakomodasi elemen positif Kapitalisme dan Sosialisme.
Islam memerintahkan kepada manusia untuk berkoperasi dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa secara vertikal dan permusuhan horizontal (5:3 ). Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bilateral, multilateral, dari tingkat lokal hingga global, tanpa harus dihambat oleh perbedaan apapun juga (49: 13).Kerjasama tersebut lebih disukai jika dituangkan dalam format “syirkah” atau perkongsian yang memastikan terjminnya keadilan dan tidak adanya pihak yang dizhalimi. Ini kecuali menjadi prasyarat normatif untuk keabsahan perkongsian, sekaligus untuk mengundang bantuan “tangan Ilahi”. Sebab “tangan Allah bersama pihak-pihak yang bersyarikat selama tidak ada pihak yang dikhianati” (HR.Abu Dawud ).
Demi tegaknya keadilan, Allah telah meletakkan “mizan” suatu timbangan akurat yang paling objektif. Siapapun tidak boleh melanggarnya (36: 7). Siapapun tidak dibenarkan jadi korban ketidak adilan. Bahkan kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh dijadikan alasan untuk berlaku tidak adil. Tanpa keadilan siapapun takan pernah mencapai ketaqwaan (5: 8)
Itulah Ekonomi Islam bersifat Ilahiah-insaniah, terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal kompromi dalam menegakkan keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Source: Makalah Islam
Baca juga artikel kami yang terkait dengan topik di atas, Etos Kerja Muslim Dibulan Ramadhan
Demikian artikel yang dapat Infokrmpol sajikan, semoga dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagi sobat.
Menyebut sebuah nama “Ekonomi Islam” menyiratkan dan memberi kesan banyak makna. Suatu pandangan yang sempit dan terlalu khawatir membayangkan bahwa dalam Ekonomi Islam tidak tersedia ruang sama sekali bagi ekonomi konvensioal dan tidak diperbolehkan masuk kedalam lingkungannya kecuali ahli syari’ah. Pandangan yang terlalu kompromistis menggambarkannya sebagai ekonomi hasil racikan atau perkawinan antara madzhab kapitalis dan sosialis, laiknya sosialisme demokrat di bidang politik.
Kedua pandangan tersebut tidak memberi manfaat untuk Ekonomi Islam. Jika pandangan pertama menghilangkan hal yang paling berharga dalam Islam yaitu “fithrah” yang menyinarkan segala bentuk kebaikan yang bermanfaat bagi manusia, dimana dan kapan saja. Maka pandangan kedua membuang dari Islam hal yang menjadi khasnya, yaitu “shibghah” atau celupan Ilahiah yang membedakannya dari celupan-celupan lain. Lebih dari itu mengingkari nasab yang sah bagi Ekonomi Islam dan menukarnya dengan posisi “anak” dari perkawinan liar antara kedua aliran ekonomi yang tidak pernah mengumumkan pertunangan apalagi perkawinan.
Pandangan yang wajar terhadap Ekonomi Islam adalah yang mencerminkan fitrhrah dan shibghahnya sekaligus. Dengan fitrah keislamannya ia selalu menawarkan yang baik, lebih baik dan terbaik bagi manusia. Sedang dengan shibghah Islamiahnya ia menunjukkan jati dirinya pada setiap penampilan. Itu direfleksikan dalam sejumlah karakteristik yang dimilikinya, yang secara keseluruhan memberinya keistimewaan dari ekonomi konvensional, tetapi menyediakan ruang untuk mengakomodasikan prestasi-prestasi insaniah dari khazanah pengalaman ekonomi yang ada.
Baca juga :Etos Kerja Dalam Pandangan Islam.
1. Ekonomi Rabbani/tauhid (divine economics)
Dengan berlabelkan “Islam” Ekonomi Islam niscaya bernafaskan iman kepada Allah, sebagai Rabbinnas dan Ilahinnas (Pencipta dan Sembahan manusia). Ini meniscayakan untuk berkomitmen dengan ajaranNya, sehingga dapat disebut Ekonomi Rabbani atau Ilahi. Di antara para ahli seperti Chapra lebih senang menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai “divine economics”. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonomi sebab pelakunya pasti manusia, tetapi pada aspek ajaran yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan ( 3: 109). Melalui aktifitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan income sebanyak mungkin, tetapi yang merupakan rezekinya tidak lepas dari pengaturan Ilahi.”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (42: 12; 13: 26). Karenanya tidak perlu takut mengalokasikan harta di jalan Allah. Sebab “apa saja yang kamu alokasikan (di jalan Allah) niscaya Dia menggantinya” (34: 39 ). Kedua tangan Allah senantiasa terbuka untuk memberi rezeki sebagaimana yang Dia kehendaki (5: 64 ). Atas hikmah Ilahiah untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Tetapi Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa usaha (amal shalih) dan melakukan mobilisasi di muka bumi untuk mencari karuniaNya.2. Ekonomi moral/sarat nilai (moral/value loaded economics)
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam mempunyai sumber “nilai-niai normatif-imperatif”, meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi. Yakni sebagai acuan yang mengikat. Sebab Tuhan adalah sumber kebenaran, kebaikan, keadilan bahkan keindahan. Klaim manusia sebagai insan ber-Tuhan tidak ada artinya sama sekali jika tidak mau berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran tersebut. Dengan mengakses kepada Allah setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan menemukan kebaikannya.Merupakan amal shaleh dan bernilai ‘ibadah. Dalam kerangka Islam setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, secara vertikal merefleksikan situasi batin dan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral “samahah” (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits riwayat Imam Bukahri dan Muslim sebagai prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitor maupun kreditor. Dengan demikian, posisi Ekonomi Islam terhadap nilai-niai moral adalah sarat nilai (value loaded), bukan sekedar memberi nilai tambahan (added value) apalagi bebas nilai (value neutral).3. Ekonomi insani atau khilafah (humane economics)
Bagi paham ekonomi naturalistis sumber daya alam adalah faktor paling penting, bagi aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi Islam sumber daya manusia atau “humane capital” sebagai kuncinya. Nilai manusia tidak bisa diukur dengan harta benda atau uang. Al Quran memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada ( 14: 32-34).
Posisi manusia yang sedemian itu memungkinkannya untuk menerima amanah “khilafah” dari Allah SWT. Yaitu amanah untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi dengan mengolah sumber daya yang Dia sediakan (11: 61). Dan untuk menciptakan kehidupan sosial yang teratur serta maju dengan mengaplikasikan aturan Maha Pencipta dalam pelbagai aspek kehidupan (42:13). Kemudian dengan dukungan kesejahteraan ekonomi dan kemajuan sosialnya, mereka mensosialisasikan pedoman hidup yang dimanahkan itu kepada komunitas manusia yang lain sehingga menjadi pedoman yang berlaku secara mendunia (3:110; 8:39,40).
4. Ekonomi wasathan (moderate economics)
Karakter ini merupakan derivasi dari karakter ummat Islam sebagai “Ummatan Wasathan” (2:143), yang mengemban tugas sebagai “syuhada” yakni rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat manusia (A. Yusuf Ali:58). Dalam pencermatan beberapa kitab tafsir posisi “wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi makna. Yang pertama maknanya “tawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna “tawazun” yakni seimbang (balance). Ketiga bermakna “khairan” yakni terbaik dan alternatif. Itu artinya, dalam Islam dan ekonomi Islam tidak ada tempat untuk ekstrimitas. Baik ekstrimitas kapitalis dalam pemihakannya kepada orang kaya pemiik modal, maupun ekstrimitas sosialis dalam memusuhi para kapitalis atas nama “pemihakannya” kepada kaum buruh. Ekonomi Islam memuji kalangan “aghniya” yang mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli utuk memberdayakan “fuqara”. Kebijakan politik ekonomi Islam tak pernah segan untuk menindak aghniya yang tidak menunaikan hak-hak sosial dari hartanya, dan “menjewer” fuqara yang meminta belas kasihan karena malas. Dalam posisi “middle” Ekonomi Islampun mempunyai keunggulan komparatif dengan ekonomi konvensional yang paling leading sekalipun. Itu menempatkannya sebagai ekonomi alternatif atau “khairan”. Betapa tidak, ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikannya sendiri, dan kebaikan ekonomi lainnya diakomodir tanpa keraguan. Diagram Venn dari ilmu logika membantu menjelaskan posisi alternatif ekonomi Islam, seperti di bawah ini:
Keterangan
K = Kapitalisme
Lingkar ekonominya mengandung elemen yang positif (diberi warna putih) dan elemen yang negatif (diberi warna hitam).
S = Sosialisme
Lingkar ekonominya mengandung elemen yang positif (diberi warna putih) dan elemen yang negatif (diberi warna hitam).
I = Islam
Memiliki elemen positif khas Islam dan mengakomodasi elemen positif Kapitalisme dan Sosialisme.
5. Ekonomi koperatif dan keadilan (cooperative & justice economics)
Islam memerintahkan kepada manusia untuk berkoperasi dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa secara vertikal dan permusuhan horizontal (5:3 ). Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bilateral, multilateral, dari tingkat lokal hingga global, tanpa harus dihambat oleh perbedaan apapun juga (49: 13).Kerjasama tersebut lebih disukai jika dituangkan dalam format “syirkah” atau perkongsian yang memastikan terjminnya keadilan dan tidak adanya pihak yang dizhalimi. Ini kecuali menjadi prasyarat normatif untuk keabsahan perkongsian, sekaligus untuk mengundang bantuan “tangan Ilahi”. Sebab “tangan Allah bersama pihak-pihak yang bersyarikat selama tidak ada pihak yang dikhianati” (HR.Abu Dawud ).
Demi tegaknya keadilan, Allah telah meletakkan “mizan” suatu timbangan akurat yang paling objektif. Siapapun tidak boleh melanggarnya (36: 7). Siapapun tidak dibenarkan jadi korban ketidak adilan. Bahkan kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh dijadikan alasan untuk berlaku tidak adil. Tanpa keadilan siapapun takan pernah mencapai ketaqwaan (5: 8)
Itulah Ekonomi Islam bersifat Ilahiah-insaniah, terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal kompromi dalam menegakkan keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Source: Makalah Islam
Baca juga artikel kami yang terkait dengan topik di atas, Etos Kerja Muslim Dibulan Ramadhan
Demikian artikel yang dapat Infokrmpol sajikan, semoga dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagi sobat.